Aktivis Ferry Irwandi Ungkap Dua Faktor Penyebab Demo Damai Berubah Brutal

Aktivis Ferry Irwandi Ungkap Dua Faktor Penyebab Demo Damai Berubah Brutal

Aksi demonstrasi yang berlangsung sejak akhir Agustus 2025 di Indonesia awalnya dirancang sebagai bentuk protes damai, namun berujung pada kerusuhan, kerusakan fasilitas publik, dan korban jiwa. Aktivis dan CEO Malaka Project, Ferry Irwandi, mengungkapkan bahwa ada dua faktor utama penyebab eskalasi kekerasan tersebut, yakni tindakan aparat keamanan dan perilaku massa.

Dalam sebuah talkshow televisi nasional, Ferry menyatakan bahwa perubahan demo damai menjadi brutal tidak bisa dipandang sebelah mata. “Kalau kita bicara penyebab, ada dua hal. Pertama tindakan aparat, kedua perilaku massa. Ini yang harus kita baca secara hatihati,” ujarnya. Menurut Ferry, dua aspek ini saling terkait dan menjadi titik kritis yang menentukan dinamika aksi di lapangan.

Korban Jiwa dalam Aksi Demonstrasi

Ferry menekankan bahwa sejumlah korban jiwa yang muncul selama gelombang demonstrasi tidak sekadar angka statistik, melainkan nyawa nyata yang meninggalkan luka mendalam bagi keluarga dan masyarakat luas. Data menunjukkan sejak 25 Agustus hingga awal September 2025, sebanyak sembilan orang meninggal dunia dalam insiden yang berhubungan dengan aksi massa tersebut. “Itu bukan sekadar angka, itu nyawa manusia. Ada luka yang tidak akan pernah hilang bagi keluarga mereka,” kata Ferry, menandaskan pentingnya perhatian serius terhadap hal ini.

Menurut Ferry, setiap kehilangan nyawa dalam konteks demonstrasi menjadi peringatan penting bagi negara. Hal ini menandakan adanya kekurangan dalam tata kelola keamanan di lapangan, baik dari aparat maupun pengelolaan massa. Kegagalan mengantisipasi dan merespons aksi secara proporsional bisa berdampak fatal terhadap kepercayaan publik.

Kritik terhadap Tindakan Aparat

Ferry mengangkat sebuah kasus di Bandung sebagai contoh kritikan kerasnya terhadap aparat. Ia mengecam penembakan gas air mata di area kampus yang dianggapnya sangat tidak tepat. “Apa pun alasannya, penembakan gas air mata ke dalam kampus tidak bisa dibenarkan. Kampus adalah ruang akademik, bukan arena perang,” ujarnya.

Kebijakan represif semacam ini dinilai Ferry hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan antara masyarakat, khususnya mahasiswa, dan aparat negara. Pendekatan ini justru memperkeruh suasana dan memprovokasi kemarahan massa yang bermaksud menyampaikan aspirasi.

Pembeda Antara Mahasiswa dan Massa Anarkis

Selain kritik terhadap aparat, Ferry juga mengakui adanya kontribusi perilaku brutal dari sebagian massa yang ikut dalam aksi demo. Oleh karena itu, ia menegaskan pentingnya membedakan antara mahasiswa yang menyampaikan tuntutan secara damai dengan kelompok lain yang melakukan tindakan anarkis. “Kita tidak bisa menyamakan semuanya. Ada mahasiswa yang menyampaikan tuntutan, dan ada juga massa yang berbuat anarkistis. Itu dua hal berbeda,” tegasnya.

Menurutnya, pemetaan dan pengelolaan kelompok massa yang tepat bisa membantu pemerintah dan aparat mengambil langkah yang proporsional dan tetap menghormati hak demokrasi. Cara pendekatan yang keliru bisa berujung pada tindakan represif berlebihan atau sebaliknya, membiarkan kerusuhan meluas.

Pentingnya Pemahaman Situasi dan Pendekatan Empatik

Mengakhiri analisanya, Ferry memberikan peringatan agar pemerintah dan aparat lebih berhatihati dalam membaca situasi demo massa. Kesalahan interpretasi terhadap akar masalah dikhawatirkan akan mengantarkan pada solusi yang keliru dan berpotensi memperparah konflik. “Kalau masalah dasarnya salah dibaca, maka penyelesaiannya juga akan melenceng. Ini yang harus hatihati, karena menyangkut kepercayaan publik dan nyawa orang,” ungkap Ferry.

Ia menegaskan bahwa pendekatan keamanan semata tidaklah cukup. Diperlukan adanya empati, pemahaman menyeluruh terhadap dinamika sosial, serta ruang dialog yang terbuka antara pemerintah, aparat, dan masyarakat. Dengan langkah tersebut, tragedi kekerasan dalam aksi protes diharapkan tidak akan terulang lagi di masa depan.

Ferry Irwandi memberikan perspektif penting sebagai refleksi dalam mengelola aksi massa yang merupakan bagian dari demokrasi. Ketegasan aparat dan kedewasaan massa dituntut berjalan seiring agar aspirasi masyarakat dapat tersampaikan dengan damai dan aman.