Polemik mengenai pelaksanaan khutbah Jumat dalam bahasa Arab kembali menjadi perhatian masyarakat Muslim di Indonesia. Pertanyaan yang belakangan ini muncul adalah, apakah khutbah Jumat wajib disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Arab? Berbagai pendapat dari para ulama menunjukkan bahwa isu ini tidaklah sederhana, terutama menimbang tidak ada perintah eksplisit dari Rasulullah SAW yang mengatur halalharamnya penggunaan bahasa dalam khutbah.
Ulasan dari beberapa sumber, termasuk situs resmi Muhammadiyah, menyebutkan bahwa dasar dari pelaksanaan khutbah Jumat terletak pada sunnah fi’liyah, yaitu tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW saat berkhutbah. Dalam riwayat Jabir bin Samurah RA, dijelaskan bahwa Rasulullah berkhutbah sambil berdiri, membaca ayatayat AlQur’an, dan mengingatkan umat, tetapi tidak secara tegas menyatakan bahwa seluruh khutbah harus dalam bahasa Arab.
Dalam perspektif ilmu ushul fiqh, praktik Nabi tidak selalu mengalami penafsiran sebagai kewajiban mutlak. Penilaian diperlukan untuk menentukan apakah tindakan tersebut menunjukkan status wajib, sunnah, atau mubah. Hal ini menyebabkan pelaksanaan khutbah dalam bahasa lokal menjadi dimungkinkan, asalkan tidak menghilangkan elemenelemen pokok yang harus tetap ada.
Kedua khutbah dalam pelaksanaan Jumat diusahakan memuat beberapa elemen yang disunnahkan dalam bahasa Arab. Elemenelemen ini termasuk:
- Hamdalah ungkapan pujian kepada Allah sebagai pembuka khutbah.
- Syahadah dua kalimat kesaksian.
- Shalawat doa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW.
- Pembacaan ayat AlQur’an yang senantiasa dilakukan oleh Nabi dalam khutbahnya.
- Doa untuk kaum Muslimin terutama doa yang bersumber dari AlQur’an dan hadis.
Meskipun elemenelemen pokok tersebut disarankan dalam bahasa Arab, isi atau materi khutbah dapat disampaikan dalam bahasa lokal untuk memastikan pesan dapat dipahami dengan baik oleh jamaah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Ibrahim (14) ayat 4 yang menyatakan, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.”
Dalam praktik Rasulullah, penggunaan bahasa selain Arab tidak ditemukan, tetapi ini lebih pada konteks sosial dan budaya saat itu, di mana bahasa Arab merupakan bahasa dominan. Hal ini tidak berarti ada perintah syriat yang mengharuskan khutbah selalu dalam bahasa Arab. Fungsi utama dari khutbah Jumat terdiri dari peringatan, nasihat, penyadaran, dan kabar gembira. Kesemua itu hanya akan tercapai bila pesan disampaikan dengan bahasa yang dipahami oleh jamaah.
Dalam konteks Indonesia, di mana mayoritas jamaah tidak menguasai bahasa Arab, penggunaan bahasa Indonesia dalam materi khutbah justru lebih sesuai dengan prinsip dakwah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dengan menggunakan bahasa lokal, prinsip ini juga mencerminkan kebutuhan masyarakat agar pesan dapat diterima secara efektif.
Penggunaan bahasa Arab tetap dipertahankan pada unsur ritual khutbah Jumat. Namun, disarankan agar isi utama khutbah disampaikan dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, demi efektivitas penyampaian pesan kepada jamaah. Pendekatan ini dapat dijadikan jembatan antara tuntunan syariat dan kebutuhan dakwah di zaman modern.
Dengan berbagai pandangan ini, umat Islam di Indonesia diharapkan dapat mendapatkan pencerahan mengenai cara berkhutbah yang relevan dan sesuai dengan konteks budaya lokal, tanpa mengabaikan unsurunsur syariat yang telah ditetapkan.



