Daging rusa liar semakin mendapat perhatian sebagai alternatif pengganti daging sapi yang lebih ramah lingkungan. Jejak karbon dari produksi daging sapi yang tergolong tinggi mendorong pencarian sumber protein lain yang lebih berkelanjutan, salah satunya adalah venison atau daging rusa liar. Dalam banyak kasus, konsumsi daging rusa juga terkait dengan upaya pengelolaan populasi rusa yang berlebih agar ekosistem tetap seimbang.
Populasi rusa liar yang meningkat
Di beberapa negara seperti Skotlandia, populasi rusa liar terus meningkat signifikan. Data pemerintah Skotlandia menunjukkan jumlah rusa yang hampir mencapai satu juta ekor, naik dua kali lipat dari setengah juta pada tahun 1990. Ketiadaan predator alami seperti serigala dan lynx menjadi faktor utama peningkatan ini. Oleh karena itu, pengendalian populasi rusa biasanya dilakukan melalui perburuan reguler. Daging rusa hasil perburuan inilah yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber protein alternatif.
Jejak karbon lebih rendah dari daging sapi
Salah satu keunggulan utama daging rusa liar adalah jejak karbonnya yang relatif rendah dibanding daging sapi. Matthew Moran, profesor biologi dari Hendrix College di Arkansas, Amerika Serikat, menjelaskan bahwa perburuan rusa liar hampir tidak menyebabkan kerusakan habitat, berbeda dengan peternakan sapi yang memerlukan lahan luas, pakan, dan proses pemeliharaan intensif yang menghasilkan emisi besar. Studi tahun 2020 oleh Moran mengungkapkan bahwa menggantikan daging sapi dengan daging rusa liar dapat menghemat emisi karbon setara dengan menghilangkan 400.000 mobil dari jalan setiap tahunnya.
Perbandingan jejak karbon sumber protein
Jejak karbon daging sapi memang tergolong tertinggi yaitu sekitar 25 kilogram CO2e untuk setiap 100 gram protein. Sebagai perbandingan, sumber protein lain menghasilkan emisi yang jauh lebih rendah:
- Kacang polong: 0,4 kg CO2e
- Tahu: 1,6 kg CO2e
- Ayam: 4,3 kg CO2e
- Babi: 6,5 kg CO2e
Daging rusa liar, khususnya yang diperoleh dari perburuan, memiliki jejak karbon yang jauh lebih rendah karena tidak membutuhkan operasional peternakan seperti pemberian pakan, kandang, atau energi tinggi dalam pemeliharaan.
Tantangan pengembangan daging rusa secara luas
Meski menarik dari sisi lingkungan, daging rusa liar masih memiliki keterbatasan sebagai solusi global. Hannah Ritchie, peneliti dari University of Oxford dan Our World in Data, menilai bahwa konsumsi daging rusa liar hanya layak untuk sebagian kecil populasi dan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan protein skala luas. Jadi, daging rusa lebih cocok dijadikan solusi dalam konteks lokal atau regional yang memiliki masalah populasi rusa berlebih daripada skala global.
Penerapan strategi penghasilan protein alternatif seperti daging rusa liar perlu diimbangi dengan regulasi pengelolaan populasi satwa liar dan kesadaran masyarakat mengenai dampak lingkungan dari pola konsumsi daging. Dengan begitu, daging rusa liar dapat menjadi pilihan yang tidak hanya memberi variasi menu tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Pengembangan industri makanan berbasis protein rendah karbon kini menjadi kebutuhan mendesak di tengah meningkatnya tekanan lingkungan akibat industri peternakan konvensional. Daging rusa liar memberikan gambaran bagaimana sumber makanan alami dan pengelolaan sumber daya hayati yang bertanggung jawab dapat membantu menciptakan cara konsumsi yang lebih berkelanjutan.





