Bentrokan bersenjata antara pasukan Thailand dan Kamboja kembali terjadi di wilayah perbatasan kedua negara, meskipun proses dialog perdamaian masih berlangsung. Konflik yang meningkat ini telah menyebabkan total 35 orang tewas, dengan rincian 22 korban di pihak Thailand—terdiri dari 14 warga sipil dan delapan anggota militer—serta 13 korban dari pihak Kamboja, seperti dilaporkan oleh Khmer Times pada 28 Juli 2025.
Kementerian Pertahanan Kamboja menuduh pasukan Thailand melanggar batas wilayah dan menembaki lokasi di dalam negara Kamboja menggunakan artileri dan roket. Sementara itu, militer Thailand membalas dengan menyatakan bahwa serangan yang dilancarkan oleh Kamboja telah merusak infrastruktur di wilayah mereka, memperburuk situasi di perbatasan. Juru bicara militer Thailand, Richa Suksuvanon, menegaskan bahwa kebuntuan ini hanya akan berakhir jika pihak Kamboja bersedia duduk untuk bernegosiasi.
Percakapan antara pemimpin kedua negara juga telah dilakukan. Presiden AS Donald Trump mengonfirmasi pada 26 Juli 2025 bahwa keduanya sepakat untuk memulai proses gencatan senjata. Namun, hingga saat ini, baku tembak masih terus berlangsung dan tidak menunjukkan tandatanda mereda.
Dalam langkah kemanusiaan, militer Thailand pada 27 Juli 2025 menyerahkan jenazah 12 tentara Kamboja yang tewas dalam bentrokan kepada otoritas Kamboja. Penyerahan dilakukan di pos perbatasan Chong Sangam, Distrik Phu Sing, Provinsi Si Sa Ket, Thailand. Militer Thailand menyatakan bahwa tindakan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap semua tentara yang gugur tanpa memandang kebangsaan.
Situasi di sekitar perbatasan semakin memburuk, dengan puluhan ribu warga yang tinggal di kedua sisi terpaksa dievakuasi demi keselamatan mereka. Ketegangan yang berlangsung terusmenerus ini mempengaruhi kehidupan seharihari penduduk lokal yang kini merasa terjebak dalam konflik yang berkepanjangan.
Sejumlah pengamat internasional mengikuti perkembangan ini dengan cermat, mengkhawatirkan potensi eskalasi yang lebih besar. Berbagai organisasi nonpemerintah dan lembaga kemanusiaan telah mengajukan permohonan agar kedua negara segera melakukan dialog yang konstruktif demi mengakhiri kekerasan ini. Namun, sampai saat ini, upaya tersebut belum membuahkan hasil yang jelas.
Kamboja dan Thailand memiliki sejarah panjang konflik berkenaan dengan sengketa wilayah, terutama di area yang dikenal sebagai Preah Vihear, yang memberi kontribusi pada ketegangan saat ini. Meskipun banyak langkah diplomatik diambil, ketidakpercayaan antara kedua pihak masih menjadi hambatan untuk mencapai perdamaian yang langgeng.
Dewan Keamanan PBB dan berbagai negara ASEAN juga menawarkan bantuan untuk mendukung proses perdamaian, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Para pemimpin kedua negara diharapkan dapat memanfaatkan situasi ini untuk menyelesaikan masalah yang telah berlarutlarut dan menghentikan siklus kekerasan yang semakin merugikan rakyat kedua belah pihak.
Dengan situasi yang terus berkembang, masyarakat internasional berharap adanya resolusi yang berkelanjutan agar kedua negara dapat kembali berfokus pada pembangunan dan kesejahteraan rakyatnya, bukan kekerasan di perbatasan.





