Mantan Ibu Negara Korea Selatan, Kim Keon Hee, ditangkap pada Selasa malam, 12 Agustus 2025, setelah pengadilan di Seoul mengeluarkan surat perintah penahanan. Penangkapan ini berkaitan dengan dugaan korupsi, termasuk penerimaan gratifikasi berupa tas mewah dan perhiasan yang tidak dilaporkan secara resmi. Kasus ini diselidiki oleh jaksa khusus yang telah memulai penyidikan sejak Juni lalu.
Kim Keon Hee menjadi mantan Ibu Negara pertama di Korea Selatan yang resmi ditahan, mengikuti jejak suaminya, mantan Presiden Yoon Suk Yeol, yang saat ini juga mendekam di penjara atas tuduhan pemberontakan. Yoon tengah menjalani persidangan karena kasus upaya penggulingan pemerintah pada April 2025, termasuk insiden gagal memberlakukan darurat militer pada Desember tahun sebelumnya.
Pada persidangan hari Selasa pagi, Kim Keon Hee tampak hadir mengenakan setelan hitam dan memberikan salam hormat singkat kepada media tanpa komentar apapun. Setelah sidang, ia ditahan di pusat penahanan di ibu kota Seoul sembari menunggu proses hukum lebih lanjut.
Tuduhan yang Dihadapi Kim Keon Hee
Jaksa mendakwa Kim dengan sejumlah pelanggaran serius, meliputi penipuan saham, penyuapan, dan perdagangan pengaruh ilegal. Salah satu kasus yang menjadi sorotan utama adalah dugaan penerimaan hadiah mewah dari sejumlah pihak. Kim dituduh menerima liontin Van Cleef bernilai lebih dari 60 juta won (sekitar US$43.000) yang dikenakannya saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) NATO di tahun 2022 bersama sang suami. Hadiah ini tidak dilaporkan dalam laporan kekayaan pejabat negara sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Selain liontin, Kim juga diduga menerima dua tas Chanel senilai 20 juta won dan sebuah kalung berlian dari sebuah kelompok agama yang mempunyai kepentingan bisnis. Jaksa menilai pemberian hadiah tersebut sebagai bagian dari upaya pengaruh ilegal yang menguntungkan bisnis kelompok tersebut.
Pihak jaksa juga mengkhawatirkan risiko Kim akan menghancurkan bukti dan menghambat proses penyelidikan. Oleh sebab itu, hakim pengadilan menerima argumentasi jaksa dan mengabulkan permintaan penahanan.
Pembelaan dari Kim Keon Hee
Melalui juru bicaranya, Oh Jeonghee, Kim membantah semua tuduhan yang diarahkan kepadanya. Ia mengklaim liontin Van Cleef yang dipakainya sebenarnya adalah barang palsu yang dibeli sekitar 20 tahun lalu di Hong Kong. Namun jaksa menegaskan bahwa liontin tersebut asli dan diberikan oleh sebuah perusahaan konstruksi domestik dalam rangka keperluan resmi menghadiri KTT NATO.
Pengacara Kim belum memberikan pernyataan tambahan mengenai tuduhan tersebut, tetapi sebelumnya membantah semua berita yang menyebutkan penerimaan hadiah sebagai spekulasi tak berdasar.
Situasi Politik dan Hukum yang Memburuk
Penahanan Kim Keon Hee menjadi bagian dari drama politik yang semakin memanas di Korea Selatan. Suaminya, Yoon Suk Yeol, menghadapi ancaman hukuman sangat berat, mulai dari penjara seumur hidup hingga hukuman mati atas dakwaan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan. Meski demikian, Yoon menolak menghadiri sidang maupun diinterogasi, dan konsisten menyatakan dirinya tidak bersalah.
Kasus ini menarik perhatian luas karena merupakan kasus korupsi dan politik terbesar yang membelit keluarga pemerintahan terbaru Korea Selatan dalam beberapa dekade terakhir. Penangkapan Kim Keon Hee di tengah tekanan hukum suaminya menambah ketidakstabilan politik di negara tersebut.
Potensi Dampak dan Perkembangan Selanjutnya
Kasus korupsi yang menyeret mantan Ibu Negara ini diperkirakan akan menjadi titik penting dalam proses peradilan di Korea Selatan. Proses hukum yang dilalui keduanya tidak hanya berimplikasi pada nasib pribadi mereka, tetapi juga pada persepsi publik terhadap kredibilitas lembaga pemerintahan dan penegakan hukum di Negeri Ginseng.
Publik dan para pengamat kini menunggu kelanjutan proses penyidikan, serta bagaimana para pemimpin baru akan bertindak menjaga kestabilan politik dan memperkuat integritas pemerintahan di tengah gejolak yang tengah berlangsung. Jaksa khusus yang menangani kasus ini berjanji akan melanjutkan penyidikan dengan transparan dan menyeluruh demi menjaga keadilan di tingkat tertinggi.
Kejadian ini menjadi pengingat pentingnya akuntabilitas bagi pejabat negara dan keluarganya, serta menegaskan peranan hukum sebagai penyeimbang kekuasaan di negara demokrasi modern.





