Menjadi Orang Tua di Era Digital: Tantangan dan Strategi Pengasuhan Modern

Menjadi Orang Tua di Era Digital: Tantangan dan Strategi Pengasuhan Modern

Di era digital saat ini, menjadi orang tua tidak hanya soal memastikan anak makan dengan baik dan rajin belajar, tetapi juga menuntut peran sebagai pendamping aktif dalam dunia digital anak. Anakanak dan remaja kini hidup dalam lingkungan yang lekat dengan layar gawai, yang tidak sekadar alat komunikasi, melainkan juga ruang sosial, belajar, dan bermain. Tantangan ini mengharuskan orang tua untuk memahami dan mengelola hubungan anak dengan teknologi secara tepat agar mereka tetap terlindungi dan berkembang dengan sehat.

Pemahaman Dunia Digital Anak

Data dari The 2025 Common Sense Census menunjukkan bahwa anak usia dini sudah mulai bersentuhan dengan gawai sejak sangat muda. Sebanyak 40% anak usia 2 tahun dan 58% anak usia 4 tahun memiliki tablet sendiri, sementara 25% anak usia 8 tahun sudah memiliki ponsel pintar. Totalnya, 51% anak di bawah usia 8 tahun memiliki perangkat seluler pribadi. Fakta ini menandakan bahwa layar menjadi bagian dari kehidupan seharihari anak jauh lebih awal dibanding generasi sebelumnya.

Pengawasan orang tua terhadap penggunaan gawai juga sangat bervariasi. Misalnya, 62% orang tua menonton YouTube bersama anak mereka, tetapi hanya 17% yang ikut menonton konten TikTok. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana orang tua benarbenar terlibat memahami apa yang anak lakukan di dunia maya.

Selain itu, kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI) mulai dimanfaatkan dalam pendidikan anakanak. Hampir sepertiga orang tua melaporkan penggunaan AI sebagai media pembelajaran di sekolah. Namun, paparan media layar harian anakanak usia 812 tahun mencapai ratarata 5,5 jam, sedangkan remaja 1318 tahun mencapai 8,5 jam. Sebanyak 84% remaja menggunakan media sosial, dengan 34% mengaku menikmati aktivitas tersebut.

Transformasi Peran Orang Tua

Perubahan drastis pada dinamika kehidupan anakanak digital memerlukan pendekatan yang lebih holistik dari orang tua. Tidak cukup sekadar menjadi “pengawas” teknologi, namun harus berperan sebagai pendamping emosional dan sosial. Stephen Graham, penulis serial Netflix Adolescence yang menggambarkan tekanan yang dialami remaja di dunia maya, menekankan pentingnya memahami realitas tekanan sosial, cyberbullying, dan kesepian yang tersembunyi dalam tampilan digital anakanak.

UNICEF menawarkan sejumlah pendekatan praktis agar orang tua dapat membantu anak membangun kebiasaan digital yang sehat dan aman:

  1. Mulai dengan Rasa Ingin Tahu, Bukan Ketakutan
    Orang tua disarankan membuka dialog dengan anak tentang apa yang mereka sukai di media sosial dan aplikasi. Pendekatan ini menggantikan sikap melarang atau menginterogasi yang justru bisa menimbulkan jarak hubungan.

  2. Menjadi Teladan Digital yang Baik
    Anakanak lebih banyak belajar dari perilaku orang tua. Jika orang tua terusmenerus terlihat asyik dengan layar, sulit mengharapkan anak membatasi waktu penggunaan gawai.

  3. Ciptakan Zona Bebas Gawai
    Misalnya pada saat makan bersama atau waktu khusus membaca buku, tanpa gangguan layar, sehingga memperkuat interaksi keluarga.

  4. Jelajahi Dunia Digital Bersama Anak
    Menonton bersama acara atau film yang dekat dengan pengalaman anak dan berdiskusi tentangnya dapat membantu memahami tekanan yang mereka hadapi.

  5. Ketahui Kapan Harus Memberi Ruang
    Pengawasan ketat penting pada usia dini, namun seiring bertambahnya usia, orang tua perlu memberikan keleluasaan agar anak memperoleh kemandirian digital dan tidak merasa terkekang.

Kesadaran dan Keterlibatan di Dunia Digital Masa Kini

Teknologi akan terus berkembang, membawa peluang sekaligus tantangan baru bagi anakanak masa depan. Namun yang tidak dapat digantikan adalah kehadiran orang tua yang peduli dan aktif belajar perkembangan dunia digital. Anakanak memerlukan figur orang tua yang tidak sematamata menjadi filter, tetapi juga pendukung yang siap tumbuh bersama dalam keseimbangan digital dan kesejahteraan mental.

Kegiatan seperti Indonesia Future of Learning Summit (IFLS) 2025, yang mengangkat tema “AIducated: Unlocking The Future with AI Skills and Beyond,” hadir sebagai upaya kolektif melibatkan pakar pendidikan, orang tua, dan psikolog dalam membekali anak menghadapi masa depan. Dengan strategi dan dukungan yang tepat, anakanak Indonesia dapat diberdayakan untuk tumbuh unggul dan tangguh, menguasai teknologi tanpa kehilangan keseimbangan emosional serta sosial.

Dengan kesadaran bersama, peran orang tua pun akan semakin kuat dalam membentuk generasi digital yang sehat dan cerdas di tengah derasnya arus transformasi teknologi dewasa ini.