Model Sarah Murray Cemas, Vogue dan Brand Lain Makin Gencar Gunakan AI

Model Sarah Murray Cemas, Vogue dan Brand Lain Makin Gencar Gunakan AI

Sarah Murray, seorang model komersial, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap penggunaan model buatan kecerdasan buatan (AI) yang semakin mendominasi iklan di industri fashion. Awal tahun ini, Murray pertama kali terpapar dengan model AI yang mengenakan gaun denim dari Levi’s, yang membuatnya merasa cemas akan masa depan profesi modeling. “Dunia model sebagai profesi sudah cukup menantang tanpa harus bersaing dengan standar kesempurnaan digital baru,” ungkapnya, seperti dilansir oleh TechCrunch.

Kekhawatiran ini tidak datang tanpa alasan. Di tahun 2024, melihat semakin banyak merek yang bereksperimen dengan model AI dalam kampanye iklan, termasuk edisi cetak Vogue pada bulan Juli yang memuat iklan dari Guess, membuat situasi semakin memanas. Kontroversi ini mengemuka karena Vogue dikenal sebagai acuan utama dalam industri fashion, sehingga keberanian mereka menggunakan model AI dalam iklan dianggap melanggar norma.

Murray dan rekanrekannya beranggapan bahwa model AI seharusnya lebih cocok ditampilkan dalam editorial ketimbang materi iklan. Meski begitu, pihak Vogue berdalih bahwa penggunaan model AI telah memenuhi standar periklanan mereka. Konsekuensi dari pergeseran ini mengakibatkan semakin banyak model ecommerce yang merasa terancam posisi mereka. Bagi banyak model, pekerjaan sebagai model ecommerce—yang berpose untuk iklan dan mempromosikan pakaian online—adalah sumber pendapatan utama yang menjamin keamanan finansial, meskipun tidak selalu membawa ketenaran.

Sinead Bovell, pendiri organisasi WAYE, menggarisbawahi dampak negatif otomatisasi terhadap modelmodel ecommerce. Ia berpendapat, modelmodel ini cenderung lebih realistis dan mudah dipahami dibandingkan model fashion yang memiliki penampilan mencolok. “Ecommerce adalah sumber penghasilan utama sebagian besar model, karena meskipun mungkin tidak menjanjikan ketenaran, itu tetap menawarkan pendapatan yang stabil,” katanya.

Di sisi lain, ada fakta bahwa menggunakan model manusia untuk beriklan sering kali memerlukan biaya yang cukup tinggi. Paul Mouginot, teknisi seni yang pernah bekerja dengan merek fashion terkenal, menegaskan bahwa model AI memungkinkan penggunaan produk dengan cara yang lebih efisien. “Dengan AI, kami dapat memakaikan produk pada model virtual yang dapat ditempatkan dalam berbagai pengaturan, menghasilkan gambar yang mirip dengan editorial asli,” tutur Mouginot.

Biaya yang lebih rendah juga menjadi salah satu alasan utama merek beralih menggunakan model AI. Amy Odell, penulis mode, mencatat bahwa saat ini sangat ekonomis bagi merek fashion untuk memanfaatkan model AI, apalagi dengan kebutuhan konten yang terus meningkat. Hal ini mendorong penurunan biaya dalam iklan cetak hingga konten media sosial, seperti TikTok.

Pendiri perusahaan periklanan Silverside AI, PJ Pereira, menambahkan bahwa penggunaan model AI sangat bergantung pada skala. Selama perbincangan dengan berbagai merek fashion, Pereira mengungkapkan fakta bahwa banyak dari mereka hanya mampu menghasilkan empat konten besar per tahun. Dengan kebutuhan media sosial dan ecommerce yang terus berkembang, merek sering kali memerlukan antara 400 hingga 400.000 konten, sebuah jumlah yang tidak dapat dipenuhi hanya dengan menambah tenaga kerja manusia.

“Untuk memenuhi kebutuhan ini, Anda tidak hanya perlu menyesuaikan proses namun juga memerlukan sistem baru,” jelas Pereira. Namun, perlu dicatat bahwa banyak orang menganggap perubahan ini sebagai cara untuk memanfaatkan artis dan model, padahal berdasarkan pandangan Pereira, itu lebih kompleks dari sekadar keuntungan finansial.

Kekhawatiran Murray dan rekanrekannya menunjukkan adanya pergeseran yang signifikan dalam industri fashion. Dengan semakin banyak merek yang beralih ke AI, tantangan bagi model manusia semakin bertambah. Di tengah perubahan ini, sangat penting bagi semua pihak untuk merenungkan masa depan profesi modeling di era digital yang terus berkembang.