Suasana di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, memanas setelah aksi ormas Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu Jakarta Raya (GRIB Jaya) menghentikan aktivitas di Golf Pondok Indah pada Rabu, 6 Agustus 2025. Aksi yang dipicu oleh sengketa lahan ini menarik perhatian publik, terutama di media sosial, dan memancing beragam reaksi, termasuk komentar lucu dari warganet yang menyebutkan bahwa insiden ini lebih meresahkan daripada isu bendera One Piece.
Massa dari GRIB Jaya mengklaim penguasaan fisik atas lahan seluas 9,74 hektar yang sudah lama dipersengketakan antara ahli waris Toton Cs dan PT Metropolitan Kencana, selaku pengelola Golf Pondok Indah. Menurut mereka, klaim ini berdasar pada surat resmi yang menyatakan bahwa PT Metropolitan Kencana tidak lagi memiliki hak atas tanah tersebut. Surat ini juga meminta perlindungan hukum bagi para ahli waris dalam menjalankan hak mereka.
Klaim tersebut mengacu pada serangkaian putusan pengadilan, yang termasuk putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung Nomor 55 PK/TUN/2003 yang dikeluarkan pada tahun 2004. Pihak GRIB Jaya menegaskan bahwa putusan tersebut memenangkan klien mereka dan menolak PK yang diajukan oleh PT Metropolitan Kencana. Dalam surat itu, Nuno Magno, kuasa hukum ahli waris, menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi kliennya.
Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Nicolas Ary Lilipaly, mengindikasikan bahwa insiden ini merupakan hasil dari sengketa yang berkepanjangan, di mana ahli waris Toton Cs mengklaim walaupun mereka belum menerima pembayaran dari PT Metropolitan Kencana. Pihak kepolisian, termasuk dari unit Brimob, diturunkan untuk memastikan keamanan dan mencegah bentrokan, dan aksinya berlangsung tanpa insiden lebih jauh, berakhir sekitar pukul 14.00 WIB.
Reaksi publik terhadap aksi ini beragam. Beberapa warganet mempertanyakan efektivitas aparat dalam menangani situasi tersebut. Salah satu akun berkomentar, “Indonesia itu kan banyak aparat ya, tapi kenapa bubarin begini aja kaya sulit banget. Gimana mau maju negeri ini.” Ini menunjukkan kekhawatiran publik terhadap penegakan hukum dan keadilan di tanah air.
Di sisi lain, pemilik PT Metropolitan Kentjana Tbk, Hery Sulistyono, dihubungi dan menegaskan bahwa klaim GRIB Jaya tidak memiliki dasar yang kuat. Ia mengatakan bahwa putusan pengadilan yang dirujuk oleh GRIB Jaya justru menolak gugatan dari ahli waris. Sengketa ini memang memiliki sejarah panjang yang berakar sejak era Kolonial Belanda terkait status tanah partikelir yang dinasionalisasi oleh pemerintah.
Informasi terkait sengketa ini bahkan memicu berbagai lelucon di media sosial. Beberapa pengguna membandingkan tingkat keresahan yang muncul dengan isuisu lain yang pernah viral. Salah satunya adalah komentar menarik yang mengatakan, “Ini lebih meresahkan daripada bendera One Piece.” Komentar ini menunjukkan bagaimana warganet menggunakan humor untuk merespons situasi yang serius.
Dengan demikian, insiden ini tidak hanya menggambarkan ketegangan dalam sengketa lahan, tetapi juga menyoroti bagaimana masyarakat berinteraksi dengan isuisu hukum dan sosial yang relevan. Aksi ormas GRIB Jaya menjadi cermin dari kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat urban di Indonesia, termasuk transparansi dalam hukum dan pengelolaan tanah.
Di tengah upaya penyelesaian masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih adil dan transparan dari berbagai pihak terkait. Perhatian masyarakat terus berfokus pada bagaimana situasi ini berkembang dan dampaknya bagi semua pihak yang terlibat. Seiring dengan itu, publik berharap agar penyelesaian sengketa tanah ini dilakukan secara damai dan sah, demi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.





