Sejak akhir Mei 2023, warga Palestina di Gaza menghadapi dilema hidup dan mati saat berusaha mendapatkan bantuan makanan di tengah kondisi perang. Di lokasi distribusi yang diatur Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF), ratusan warga terpaksa berdesakan dengan membawa ransel guna mengumpulkan persediaan pangan, namun sering kali menjadi sasaran tembakan militer Israel. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam: apakah upaya pemberian bantuan kemanusiaan di Gaza justru berujung menjadi korban pembantaian?
Kronologi Insiden Penembakan di Lokasi Bantuan Makanan
Menurut laporan investigasi panjang yang dilakukan oleh The Guardian selama hampir dua bulan, sejak 27 Mei hingga 26 Juni 2023 terjadi pola tembakan berulang dari militer Israel yang secara langsung menargetkan warga sipil Palestina yang tengah mengantre atau berusaha mengumpulkan bantuan makanan. Sebanyak 30 insiden besar tercatat, dengan 1.373 warga tewas dan lebih dari 2.000 terluka, mayoritas akibat luka tembak. Lokasilokasi distribusi yang dikelola GHF kini menjadi zona bahaya di bawah tekanan pertempuran serta ancaman tembakan senjata ringan dan senapan mesin.
Sebagai contoh, Ehab Nuor, tukang cukur berusia 23 tahun, melarikan diri dari tembakan sebanyak lebih dari sepuluh kali saat hendak mendapatkan tepung di sebuah titik distribusi. Nasibnya beruntung berbeda jauh dengan Ameen Khalifa, 30 tahun, yang ditembak mati dua hari setelah insiden pertama yang menyebabkan 170 orang terluka dan 30 tewas di lokasi GHF. Ahmad Zeidan, bocah yang mengantre dengan keluarganya, kehilangan ibunya akibat tembakan saat mereka menunggu giliran mengambil makanan yang diumumkan oleh militer Israel.
Analisis Bukti dan Pola Luka Tembak
Pengumpulan data visual, peluru yang ditemukan, serta wawancara dengan tenaga medis melukiskan gambaran sistematis tentang penembakan terarah. Rumah sakit Nasser dan rumah sakit lapangan Palang Merah di Rafah melaporkan jumlah korban luka tembak yang jauh melebihi insiden serupa sebelumnya. Dokter Bedah Universitas Oxford, Prof. Nick Maynard, mencatat pola luka serupa pada beberapa pasien—seperti luka tembak di kepala, leher, dan bahkan kemaluan remaja—yang menunjukkan bahwa korban sengaja ditargetkan pada bagian tubuh tertentu.
Para pakar senjata menegaskan bahwa peluru yang ditemukan sesuai dengan kaliber senjata militer Israel (7,62×51 mm dan kaliber 50). Mereka menyebut tembakan peringatan yang dilakukan dengan senjata ringan di tengah kerumunan sipil adalah tindakan yang ceroboh dan berpotensi mematikan.
Reaksi Militer Israel dan Pengakuan Terbatas
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) membantah tuduhan sengaja menargetkan warga sipil dan mengklaim menjalankan operasi sesuai hukum internasional. IDF menyatakan bahwa tembakan yang dilepaskan merupakan upaya pembelaan diri terhadap ancaman yang muncul dan telah mengambil langkahlangkah untuk meminimalkan konflik dengan warga sipil, seperti memasang pagar dan membuka jalur baru. Namun, klaim ini bertolak belakang dengan bukti lapangan yang menunjukkan penembakan yang berulang terhadap warga tak bersenjata yang tengah mengakses bantuan. IDF juga menyatakan terbuka untuk berdialog dengan lembaga kemanusiaan untuk memastikan operasi bantuan dapat berjalan lebih aman.
Seorang juru bicara IDF dalam video resmi menyebut distribusi makanan tersebut sebagai solusi baru yang membawa bantuan langsung kepada warga Gaza tanpa melalui Hamas. Namun, kenyataannya di lapangan adalah gambaran ketegangan yang mematikan saat warga berjuang demi kelangsungan hidup.
Perspektif Hukum dan Kemanusiaan Internasional
Pengamat hukum internasional, Adil Haque dari Universitas Rutgers, menilai kejadian ini sebagai pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa Keempat dan kejahatan perang. Menembaki warga sipil tak bersenjata secara sengaja dan berulang adalah tindakan yang melanggar hukum humaniter. Organisasi kemanusiaan Oxfam menyebut kondisi di Gaza sebagai “skema yang mematikan” yang jauh dari nilainilai kemanusiaan.
Kondisi ini menambah kompleksitas krisis kemanusiaan Gaza, yang tidak hanya berasal dari dampak perang, tetapi juga dari ketidakamanan saat upaya bantuan hendak diberikan. Laporan serta data medis yang datang dari rumah sakit menegaskan perlunya komunitas internasional untuk menekan pihakpihak terkait agar menjamin akses bantuan dengan cara yang aman dan menghormati hak hidup warga sipil.
Tantangan dan Harapan di Tengah Konflik
Meskipun Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel menyatakan distribusi makanan dari GHF “fenomenal” dan berencana membuka lebih banyak titik distribusi, realitas lapangan menunjukkan tantangan luar biasa. Masyarakat Gaza seperti Ehab Nuor kini harus bertahan dengan kelaparan dan rasa takut setiap kali mereka keluar dari tenda penampungan untuk mencari makanan.
Situasi di Gaza mengingatkan betapa krisis kemanusiaan tidak dapat dipisahkan dari dinamika militer dan politik. Kebutuhan dasar untuk hidup, seperti mendapatkan makanan, harusnya menjadi momen perlindungan, bukan menjadi momen pembantaian. Upaya memastikan keamanan warga sipil dan kelancaran bantuan menjadi pekerjaan penting yang memerlukan perhatian serius dunia internasional.





