Polyworking Gen Z Dinilai Buka Peluang Serangan Siber Baru

Polyworking Gen Z Dinilai Buka Peluang Serangan Siber Baru

Gen Z dikenal sebagai generasi yang tumbuh dalam era digital, dan kini mereka memelopori tren kerja baru yang disebut polyworking. Istilah ini merujuk pada kebiasaan menjalani beberapa pekerjaan sekaligus—baik sebagai freelancer, pekerja penuh waktu, maupun menjalankan proyek passion. Meski memberi fleksibilitas dan peluang finansial, tren ini ternyata membuka celah baru dalam dunia keamanan siber.

Berdasarkan laporan terbaru Kaspersky, selama periode Q2 2024 hingga Q1 2025, tercatat lebih dari 6 juta upaya serangan siber yang menyamar sebagai alat kerja populer seperti Zoom, Outlook, dan Microsoft Teams. Di Indonesia sendiri, lebih dari 41 ribu serangan tercatat, menargetkan para pekerja Gen Z yang aktif menggunakan berbagai aplikasi kerja dan platform pencarian kerja digital.

Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran baru: seiring Gen Z semakin banyak mengandalkan perangkat pribadi dan aplikasi digital untuk bekerja dari mana saja, apakah mereka siap menghadapi risiko yang datang bersama gaya hidup multitasking yang mereka jalani?

Banyak Alat, Sedikit Perlindungan

Multitasking dalam dunia kerja digital berarti mengelola puluhan aplikasi sekaligus: email, kalender, software manajemen proyek, hingga platform komunikasi internal. Dalam kasus Gen Z yang polyworking, satu individu bisa mengakses Microsoft Teams untuk satu pekerjaan, lalu Slack untuk proyek freelance lainnya, ditambah Outlook, Zoom, dan Notion untuk pekerjaan sampingan.

Masalahnya, semakin banyak alat yang digunakan, semakin luas pula permukaan serangan yang bisa dimanfaatkan penjahat siber. Kaspersky mencatat Zoom menjadi target utama dengan hampir 4 juta serangan disamarkan sebagai undangan atau pembaruan palsu. Serangan semacam ini kerap lolos karena tampilannya sangat mirip dengan aplikasi asli dan datang melalui jalur komunikasi yang tampaknya sah.

Kondisi ini menjadi ladang empuk untuk rekayasa sosial. Pelaku bisa mengirim tautan berbahaya lewat pesan yang terlihat seperti dari rekan kerja, atau menyisipkan malware lewat file kerja palsu. Dalam kondisi kerja yang serba cepat dan banyak notifikasi, kesalahan manusia, seperti klik sembarangan dan bisa menjadi titik masuk yang fatal.

Platform Freelance dan Keamanan Pribadi jadi Celah Baru

Selain alat kerja, celah keamanan juga muncul dari platform pekerjaan seperti LinkedIn, Upwork, Fiverr, dan Glassdoor. Kaspersky menemukan lebih dari 650 ribu upaya phishing yang menyamar sebagai lowongan kerja, dengan modus mengarahkan korban ke halaman login palsu untuk mencuri kredensial.

Di tengah budaya “kerja cepat” dan “tawaran eksklusif”, para pelaku memanfaatkan antusiasme Gen Z untuk menjebak mereka dalam skema penipuan digital. Yang membedakan ancaman ini dengan sebelumnya adalah skalanya—banyak komunikasi kerja yang berlangsung di luar email, seperti lewat DM media sosial atau pesan instan.

Tak berhenti di situ, kebiasaan memakai satu perangkat untuk berbagai pekerjaan juga memperparah risiko. Tanpa pemisahan antara lingkungan kerja dan pribadi, satu insiden keamanan bisa berdampak ke banyak akun sekaligus. Contohnya, jika akun freelance diretas karena menggunakan kata sandi lemah, dan ternyata kata sandi itu juga dipakai untuk email kantor, maka pelaku bisa masuk ke sistem perusahaan tanpa terdeteksi.

Evgeny Kuskov, pakar keamanan di Kaspersky, menyebut ini sebagai “bom waktu digital”. Menurutnya, tumpang tindih antara pekerjaan, perangkat, dan aplikasi menciptakan kelelahan kognitif dan peluang lebih besar bagi kelalaian. “Dalam keamanan siber, satu kelalaian kecil bisa berdampak besar,” ujarnya.

Solusi Bukan Sekadar Teknis, tapi Juga Edukatif

Kaspersky menyoroti pentingnya kesadaran keamanan siber di kalangan Gen Z, bukan hanya lewat software pelindung tapi juga lewat edukasi. Untuk itu, mereka meluncurkan Case 404, game interaktif bertema detektif digital yang dirancang untuk membantu Gen Z memahami risiko siber dan cara menghindarinya.

Selain itu, Kaspersky juga memberikan beberapa rekomendasi penting, seperti memisahkan perangkat kerja dan pribadi, menggunakan pengelola kata sandi, hanya mengunduh aplikasi dari sumber resmi, serta menghindari ekstensi browser tidak resmi. Penting juga untuk selalu mengaktifkan autentikasi dua faktor dan memperlambat respons terhadap pesan mendesak yang mencurigakan.

Namun, implementasi saran ini tentu tidak mudah, apalagi untuk pekerja lepas yang mengandalkan satu laptop dan gawai untuk segala kebutuhan. Di sinilah peran platform kerja, perusahaan, dan bahkan regulator diperlukan—untuk menciptakan ekosistem digital yang lebih aman dan inklusif bagi generasi pekerja masa depan.

Polyworking dan multitasking digital bukanlah hal buruk. Bagi Gen Z, ini adalah cara baru membangun karier dan menciptakan kemandirian finansial. Namun, di balik fleksibilitas itu, tersembunyi risiko-risiko yang tidak bisa diabaikan.

Keamanan siber bukan hanya tanggung jawab individu, tapi juga ekosistem. Dan semakin cepat semua pihak menyadari hal ini, semakin besar peluang kita untuk menciptakan lingkungan kerja digital yang benar-benar aman, tanpa mengorbankan kebebasan dan kreativitas yang jadi ciri khas generasi Z.