PPATK Buka Blokir 28 Juta Rekening, Anggota DPR Ingatkan: Jangan Bikin Gaduh!

PPATK Buka Blokir 28 Juta Rekening, Anggota DPR Ingatkan: Jangan Bikin Gaduh!

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) barubaru ini membuka kembali lebih dari 28 juta rekening yang sebelumnya diblokir. Kebijakan ini secara langsung memicu reaksi keras dari anggota DPR yang meminta agar PPATK lebih bijak dalam mengambil keputusan, terutama dalam hal yang menyangkut kepentingan publik. Keputusan ini tidak hanya menyangkut rekening individu, tetapi juga mencerminkan bagaimana kebijakan yang berniat baik bisa menyimpang dan berpotensi memicu keresahan di masyarakat.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, menyoroti bahwa pemblokiran rekening yang tidak bermanfaat bagi konstituen di tingkat bawah adalah kesalahan besar. Ia menegaskan bahwa tidak semua rekening yang tidak aktif harus diasosiasikan dengan tindakan kriminal. “Banyak masyarakat kecil seperti petani dan nelayan yang menabung untuk masa depan,” jelasnya. Rudianto juga menambahkan bahwa mereka mungkin tidak selalu melakukan transaksi setiap bulan, karena tujuan simpanan mereka berbeda.

PPATK menyatakan bahwa keputusan untuk memblokir rekening yang dianggap tidak aktif mengacu pada upaya mereka dalam memberantas kejahatan finansial, termasuk judi online. Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M. Natsir Kongah, menjelaskan, “Intinya langkah yang dilakukan oleh PPATK itu untuk melindungi nasabah agar rekeningnya tidak digunakan untuk tindak pidana.” Namun, pendekatan ini menarik kritik luas, karena dinilai tidak mempertimbangkan keadaan masyarakat berpenghasilan rendah yang mungkin tidak aktif bertransaksi.

Selain itu, untuk menangani keluhan dari masyarakat, PPATK menyediakan formulir khusus yang dapat diakses melalui tautan yang mereka sediakan. Formulir ini berisi serangkaian pertanyaan untuk verifikasi bagi nasabah yang merasa dirugikan akibat kebijakan pemblokiran. Hal ini menunjukkan langkah transparansi PPATK, meskipun terpaksa diambil setelah gelombang kritik yang datang.

DPR meminta agar PPATK belajar dari pengalaman ini dan tidak membuat keputusan yang bisa menyebabkan hype negatif di masyarakat. “Kita tidak mau ada kebijakan yang membuat gaduh,” ujarnya, mendesak pentingnya evaluasi kebijakan yang diambil. Hal ini menunjukkan bahwa sementara upaya untuk memerangi kejahatan finansial sangat penting, kebijakan yang diterapkan harus disusun dengan pemahaman yang lebih komprehensif tentang dampaknya terhadap masyarakat.

Dalam konteks yang lebih luas, pengawasan terhadap transaksi keuangan memang sangat penting, terutama di era digital saat ini. Namun, pelaksanaan kebijakan harus dilakukan dengan sedemikian rupa sehingga tidak menciptakan masalah baru. Di sini, peran DPR sebagai pengawas dan perwakilan suara rakyat sangat vital. Mengambil keputusan tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat berpotensi menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.

Kebangkitan kembali 28 juta rekening ini menyiratkan betapa rumitnya masalah yang dihadapi PPATK. Kebijakan yang awalnya berniat untuk melindungi bisa berbalik menjadi sumber masalah baru ketika tidak diimplementasikan dengan bijak. Dalam hal ini, penting bagi lembagalembaga seperti PPATK untuk berkolaborasi dengan pihak lain, seperti DPR, agar kebijakan yang diambil tidak hanya efektif dalam tujuan utamanya tetapi juga mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat luas.

Dengan keputusan terbaru ini, PPATK diharapkan dapat melakukan evaluasi mendalam terhadap prosedur dan kebijakannya. Langkah ke depan harus melibatkan dialog konstruktif dengan masyarakat dan lembaga terkait agar tindakan yang diambil bisa membawa manfaat, bukan sebaliknya. Kegaduhan yang terjadi seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak untuk lebih berhatihati dalam merumuskan kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat.