Pejabat tinggi kepolisian dan kejaksaan Tokyo melakukan kunjungan langka ke makam seorang pengusaha yang menjadi korban salah tangkap dan kemudian meninggal dunia setelah ditahan secara ilegal selama berbulanbulan. Mereka menyampaikan permintaan maaf resmi atas kesalahan penegakan hukum yang dialami korban tersebut.
Shizuo Aishima, mantan penasihat perusahaan mesin Ohkawara Kakohki, menjadi satu dari tiga eksekutif yang ditangkap dan ditahan dalam penyelidikan praperadilan sejak Maret 2020 atas tuduhan mengekspor alat spray dryer secara ilegal. Tuduhan ini didasarkan pada asumsi bahwa alat tersebut berpotensi digunakan untuk produksi senjata biologis, meskipun ekspor alat tersebut sebenarnya legal. Penahanan Aishima berlanjut meski ia didiagnosis mengidap kanker progresif pada Oktober 2020 dan membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.
Pada 25 Agustus 2025, para pejabat senior kepolisian metropolitan Tokyo, kejaksaan tinggi, dan kejaksaan Tokyo mendatangi makam Shizuo Aishima. Mereka meletakkan karangan bunga dan meminta maaf secara langsung di hadapan keluarga almarhum. Tetsuro Kamata, Wakil Kepala Kepolisian Metropolitan Tokyo, menyatakan, “Kami dengan tulus meminta maaf atas penyelidikan dan penangkapan yang ilegal ini.”
Respons dari keluarga korban beragam. Istri Aishima mengatakan, “Saya menerima permintaan maaf ini, tetapi saya tidak akan bisa memaafkan.” Sikap ini menunjukkan luka mendalam yang sulit disembuhkan meskipun ada pengakuan kesalahan dari pihak aparat penegak hukum.
Kasus tersebut mengundang perhatian luas, khususnya dari organisasi hak asasi manusia di Jepang yang selama ini mengkritik praktik penahanan praperadilan yang berkepanjangan dan disebut sebagai “keadilan sandera.” Mereka menilai sistem ini memungkinkan penyidik memaksa pengakuan dengan mempertahankan tersangka dalam kondisi yang menekan tanpa pembuktian cukup.
Jaksa kemudian membatalkan dakwaan terhadap Aishima dan dua rekan lainnya setelah bukti yang dikumpulkan dianggap tidak cukup mendukung proses hukum. Kedua rekan korban dibebaskan pada Februari 2021 dengan pembatasan tidak bertemu Aishima yang terbaring sakit hingga meninggal bulan yang sama. Pengadilan Tinggi Tokyo menyatakan bahwa proses penyelidikan, penahanan, dan dakwaan yang terjadi adalah ilegal dan tidak berlandaskan bukti yang kuat.
Pengacara keluarga Aishima, Tsuyoshi Takada, mengatakan bahwa penahanan tersebut bukan kesalahan satu orang hakim saja, melainkan cerminan sikap sistemik yang perlu diubah. Ia menegaskan perlunya reformasi mendasar dalam sikap dan prosedur pengadilan demi menghindari tragedi serupa di masa depan. Menurutnya, kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi seluruh institusi hukum untuk menghormati prinsip keadilan dan menjamin tidak ada lagi korban dari praktik penahanan tanpa dasar yang kuat.
Kasus ini juga membuka dialog tentang urgensi perbaikan sistem peradilan pidana Jepang, khususnya terkait penahanan praperadilan yang bisa berlangsung berkepanjangan tanpa kepastian hukum dan dengan dampak serius terhadap kesehatan dan hak asasi individu. Kesalahan yang berujung pada kematian Shizuo Aishima merupakan pengingat penting bahwa penegakan hukum harus selalu dilandasi pada keadilan, bukti yang valid, dan perlindungan terhadap hak tersangka.
Langkah permintaan maaf secara terbuka oleh pejabat tinggi kepolisian dan kejaksaan merupakan momentum langka dan penting dalam membangun kepercayaan publik serta membuka jalan bagi reformasi penegakan hukum yang lebih manusiawi dan transparan di Jepang. Namun, luka yang ditimbulkan bagi keluarga korban tetap membutuhkan perhatian serius dan komitmen nyata dari aparat penegak hukum untuk mencegah terulangnya kesalahan serupa.





