Sejarah Gas Air Mata: Dari Senjata Perang Dunia I hingga Pengendali Massa Modern

Sejarah Gas Air Mata: Dari Senjata Perang Dunia I hingga Pengendali Massa Modern

Gas air mata memiliki sejarah panjang yang berawal dari penggunaan sebagai senjata kimia selama Perang Dunia I, untuk kemudian berkembang fungsi menjadi alat pengendali massa oleh aparat keamanan di berbagai negara. Senjata ini berasal dari bahan kimia yang dirancang untuk melumpuhkan lawan dengan mengiritasi mata dan saluran pernapasan, sehingga memaksa korban untuk menghindar.

Pada Perang Dunia I (19141918), gas air mata dipakai oleh tentara Jerman dan Prancis sebagai bagian dari keperluan taktis di medan perang. Namun, akibat dampak mematikan dari berbagai gas beracun yang berkembang saat itu, termasuk gas klorin dan fosgen yang menelan banyak korban jiwa, masyarakat internasional menginisiasi upaya larangan penggunaan senjata kimia. Hal ini berujung pada dirumuskannya Konvensi Jenewa tahun 1925 yang secara eksplisit mengutuk penggunaan gas beracun dan gas yang menyesakkan napas dalam peperangan.

Meski demikian, dalam ketentuan Konvensi Jenewa tersebut, ada kekaburan definisi terkait gas air mata yang menjadikannya tidak tercakup secara tegas dalam larangan. Amerika Serikat pun mengecualikan gas air mata dari kategori senjata kimia mematikan, membolehkan penggunaannya namun dengan pembatasan. Pada 1975, Presiden Gerald Ford menandatangani Perintah Eksekutif 11850 yang mengizinkan penggunaan gas air mata dalam konteks operasi pengendalian kerusuhan di wilayah yang dikuasai militer AS. Namun, penggunaannya diawasi ketat dan biasanya memerlukan persetujuan khusus, seperti untuk menangani kerusuhan tawanan perang atau operasi penyelamatan.

Dalam praktiknya, penggunaan gas air mata sebagai alat pengendali massa menimbulkan kontroversi karena sering kali diterapkan secara berlebihan dan menimpa demonstran damai. Kasus mencolok terjadi pada Konvensi Nasional Demokrat tahun 1968 di Chicago, di mana polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa yang tidak melakukan tindakan kekerasan. Aksi ini menimbulkan kecaman luas dan dianggap sebagai contoh ketidakproporsionalan aparat dalam menghadapi penunjuk rasa.

Selain itu, insiden penggunaan gas air mata secara serupa juga terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Londonderry, Irlandia Utara pada 1969, dan Korea Selatan pada tahun 1987. Dalam setiap kasus tersebut, pemakaian gas air mata menimbulkan kekhawatiran mengenai hak asasi manusia dan kebebasan berkumpul secara damai.

Di Indonesia, gas air mata juga dikenal luas sebagai senjata nonmematikan yang digunakan aparat keamanan untuk mengendalikan kerumunan selama aksi unjuk rasa. Meskipun dianggap efektif untuk mengurai massa, seringkali penggunaan gas air mata menimbulkan perdebatan soal batasan dan dampak kesehatannya bagi para pengunjuk rasa.

Secara kimiawi, gas air mata tergolong ke dalam agen “C” serta kategori semprotan merica (pepper spray), yang samasama dirancang untuk menimbulkan iritasi sementara. Namun, penggunaannya tetap harus diatur ketat agar tidak disalahgunakan. Konvensi internasional dan kebijakan nasional terus berupaya menyeimbangkan antara kebutuhan pengendalian massa dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Berbagai regulasi modern berusaha mengawasi distribusi dan pemanfaatan gas air mata agar tidak dipakai sebagai alat untuk menindas demonstrasi damai. Meski demikian, fakta sejarah dan kasus penggunaan gas air mata yang kelam mengingatkan bahwa senjata ini, meskipun bersifat nonmematikan, memiliki konsekuensi serius jika tidak dikendalikan dengan baik. Data dan dokumentasi dari penggunaan gas air mata di berbagai peristiwa global membuka ruang diskusi tentang bagaimana alat ini seharusnya digunakan secara etis dan proporsional.