Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) barubaru ini melontarkan pernyataan mengejutkan terkait kelaparan massal di Jalur Gaza. Dalam pernyataannya, UNRWA mengklaim bahwa krisis ini adalah hasil dari tindakan yang disengaja dan terencana, di mana mekanisme distribusi bantuan yang dikelola oleh Israel dan Amerika Serikat, yang dikenal sebagai Yayasan Kemanusiaan Gaza, digunakan untuk mencapai tujuan politik dan militer, bukan untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan yang ada.
Menurut UNRWA, kelaparan yang melanda Gaza bukan hanya sekadar hasil dari kesalahan logistik atau hambatan distribusi, tetapi merupakan kebijakan yang secara sistematis merugikan jutaan warga sipil. “Kelaparan massal yang disengaja ini menyebabkan banyak anakanak mengalami kelaparan,” ungkap UNRWA dalam keterangannya. Organisasi ini menyatakan bahwa sistem distribusi bantuan yang dikelola oleh Yayasan Kemanusiaan Gaza tidak dirancang untuk mengatasi masalah yang ada, malah justru memperburuk situasi.
Mekanisme distribusi yang diterapkan sejak 27 Mei 2025 itu tampaknya memberi Israel kendali penuh atas akses kemanusiaan ke Gaza. Hal ini mengakibatkan ribuan truk bantuan yang berisi makanan, obatobatan, dan kebutuhan dasar lainnya terjebak di perbatasan Mesir dan Yordania. “Saat ini, sekitar 6.000 truk bantuan UNRWA masih tertahan di luar Gaza, mengakibatkan krisis kelaparan yang semakin parah,” tambah UNRWA.
Sejak Israel menutup semua perlintasan ke Gaza pada 2 Maret 2025, serangan militer intens dan blokade berkepanjangan telah menyebabkan lebih dari 59.600 warga Palestina meninggal dunia, termasuk ribuan anakanak. Hal ini berakibat langsung pada melonjaknya angka kematian akibat kelaparan yang semakin meningkat.
Krisis kemanusiaan ini memicu desakan dari berbagai pihak agar komunitas internasional mengambil tindakan lebih lanjut. UNRWA telah meminta agar mekanisme distribusi bantuan yang diawasi oleh PBB dibuka kembali untuk membantu meringankan penderitaan penduduk sipil. Namun, sistem yang ada saat ini ditolak oleh PBB dan berbagai lembaga kemanusiaan internasional karena dinilai tidak efektif dan bermuatan politik.
Kotakota di Gaza, yang sudah berjuang untuk bertahan, kini berada dalam keadaan darurat. Dengan blokade yang semakin ketat dan akses yang dibatasi, banyak orang kehilangan harapan. UNRWA mencatat bahwa selama periode gencatan senjata singkat awal tahun 2025, kelaparan di Gaza sempat mereda. Namun, situasi kembali memburuk setelah gencatan senjata tersebut dibatalkan oleh Israel.
Tekanan internasional terhadap Israel semakin meningkat, di mana Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pemimpin Israel atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait operasi di Gaza. Tuduhan genosida juga dilayangkan di Mahkamah Internasional, menciptakan suasana ketidakpastian atas masa depan wilayah tersebut.
Dalam situasi seperti ini, UNRWA terus berjuang untuk menarik perhatian dunia agar mengambil langkah konkret guna menghentikan kelaparan dan penderitaan yang dialami oleh penduduk Gaza. Kebutuhan mendesak akan bantuan yang efektif dan humanis menjadi fokus utama UNRWA, sementara kritik terhadap pola distribusi yang ada semakin mencuat.
Masyarakat internasional diharapkan tidak hanya memantau, tetapi juga terlibat aktif dalam penyelesaian masalah ini. Dengan lebih dari setengah populasi Gaza yang tergantung pada bantuan, tindakan segera untuk memperbaiki mekanisme distribusi adalah langkah yang sangat diperlukan demi mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan.





