Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mengkritik keras penggunaan UndangUndang Perlindungan Anak (UU PA) oleh aparat kepolisian untuk menjerat aktivis, termasuk Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaeni. Menurut TAUD, penerapan UU tersebut dalam kasus demo ricuh pada Agustus 2025 merupakan bentuk kriminalisasi yang keliru dan berpotensi membungkam suara anakanak serta pendamping mereka.
Anggota TAUD, Sekar Banjaran Aji, menjelaskan bahwa aktivitas Delpedro dan sejumlah aktivis lainnya justru bertujuan melindungi anakanak dengan memberikan edukasi agar mereka mampu berpikir kritis. “Yang dilakukan klien kami bukanlah memprovokasi anakanak, melainkan memberikan pengetahuan yang tepat untuk terus berpikir kritis,” ujarnya dalam konferensi pers yang disiarkan melalui akun YouTube YLBHI, Sabtu (6/9/2025).
Sekar menegaskan bahwa perlindungan anak bukan hanya menjaga keselamatan fisik, tetapi juga memastikan hak mereka untuk mendapat pengetahuan dan berani mengemukakan pendapat. Dengan melarang suara anakanak dan aktivis pendamping, negara dinilai mengabaikan pengalaman dan perspektif generasi muda terhadap situasi sosialpolitik yang sedang berlangsung.
Kebebasan Berekspresi sebagai Bagian Perlindungan Anak
TAUD juga mengaitkan persoalan ini dengan kondisi demokrasi di Indonesia. Sekar menambahkan, tanpa adanya kebebasan berekspresi, upaya perlindungan anak akan sulit berjalan efektif. “Jika hari ini suara anakanak dan pendampingnya direpresi, sesungguhnya ini juga merepresi kerjakerja perlindungan anak,” tegasnya.
Lebih jauh, Sekar mengkritisi sikap polisi yang cenderung memframing seluruh peserta demonstrasi sebagai perusuh. Padahal demonstrasi merupakan hak konstitusional yang dilindungi oleh undangundang. “Bagaimana mungkin aparat hukum langsung melabeli semua pengunjuk rasa sebagai perusuh? Ini menjadi masalah serius dalam konteks penegakan hukum,” ujar dia.
Penetapan Tersangka dan Tuduhan Provokasi
Dalam kasus yang sama, Polda Metro Jaya telah menetapkan 43 orang sebagai tersangka terkait aksi demo ricuh pada 25 dan 28 Agustus 2025 di Jakarta. Di antara mereka adalah Delpedro Marhaeni, staf Lokataru Muzaffar Salim, aktivis Gejayan Memanggil Syahdan Husein, mahasiswa dan pegiat media sosial Khariq Anhar, serta dua orang lain dengan inisial RAP dan FL.
Mereka dikenakan pasalpasal pidana antara lain Pasal 160 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghasutan, Pasal 45A Ayat 3 juncto Pasal 28 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan Pasal 87 UU Perlindungan Anak. Polisi menuduh mereka menghasut pelajar dan anak di bawah umur untuk ikut serta dalam demonstrasi hingga berujung kerusuhan.
Namun, penangkapan dan penahanan terhadap Delpedro, Muzaffar, Syahdan, dan Khariq menuai reaksi keras dari masyarakat sipil dan organisasi hak asasi manusia. Banyak pihak menganggap proses hukum tersebut sebagai kriminalisasi terhadap aktivis yang berperan sebagai pendamping dan edukator bagi anakanak.
Respons Masyarakat Sipil
Di media sosial dan berbagai platform advokasi, muncul desakan agar kepolisian segera membebaskan para tersangka karena mereka dipandang sebagai korban pencarian kesalahan yang tidak berdasar. TAUD bersama sejumlah elemen masyarakat sipil kembali menyerukan agar negara menghormati peran aktivis dalam memperjuangkan hak anak sekaligus menjaga kebebasan demokrasi.
Dalam konteks ini, penggunaan UU Perlindungan Anak sebagai alat hukum untuk memidanakan aktivis patut menjadi bahan evaluasi serius. Perlindungan terhadap anak harus diimbangi dengan hak mereka untuk berpartisipasi dan menyuarakan pendapat tanpa takut akan kriminalisasi. Penghormatan terhadap hak asasi dan kebebasan berpendapat merupakan fondasi penting dalam menjalankan demokrasi yang sehat dan inklusif.
Kasus yang menimpa Delpedro dan rekanrekannya menjadi cermin bagi pemerintah dan aparat hukum untuk meninjau kembali mekanisme perlindungan anak secara komprehensif tanpa mengorbankan hakhak dasar anak dan para pendampingnya dalam masyarakat.





