Rencana Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk menerapkan kebijakan baru terkait visa turis dan bisnis segera menimbulkan tanda tanya besar, terutama bagi Warga Negara Indonesia (WNI). Kebijakan yang direncanakan ini mengharuskan sejumlah pemohon visa membayar uang jaminan yang dapat mencapai 15.000 dolar AS atau sekitar Rp245 juta. Hal ini tentunya berdampak signifikan bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan ke AS, baik untuk tujuan wisata maupun bisnis.
Kebijakan ini diumumkan melalui pratinjau di situs Federal Register dan direncanakan akan dimulai dalam program percontohan selama 12 bulan. Dalam program ini, petugas konsuler di kedutaan atau konsulat AS di seluruh dunia akan memiliki hak untuk meminta jaminan dari pemohon visa B1 (bisnis) dan B2 (turis). Berdasarkan pemberitahuan resmi, pemohon dapat diminta untuk membayar jaminan sebesar 5.000, 10.000, atau 15.000 dolar AS.
Kriteria Penerapan Kebijakan
Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah siapa saja yang akan terkena dampak dari kebijakan ini, serta apakah Indonesia termasuk dalam daftar target negara. Menurut dokumen resmi, kebijakan uang jaminan ini tidak akan diterapkan pada semua pemohon visa, melainkan akan menyasar individu dari negaranegara yang memiliki dua kriteria: tingkat penyalahgunaan izin tinggal yang tinggi dan dinilai lemah dalam sistem penyaringan serta pemeriksaan informasi.
Walaupun demikian, hingga saat ini, Departemen Luar Negeri AS belum mengeluarkan daftar resmi negaranegara yang akan kena kebijakan ini. Namun, mereka menyatakan bahwa daftar tersebut akan dirilis secara daring setidaknya 15 hari sebelum kebijakan diterapkan. Hal ini menimbulkan kegelisahan di kalangan calon pelancong, termasuk WNI yang sering mengunjungi AS.
Beban Finansial yang Berat
Apabila seorang WNI diwajibkan untuk membayar jaminan penuh sebesar Rp245 juta, angka tersebut dapat menjadi penghalang signifikan, bahkan mungkin lebih tinggi daripada total biaya perjalanan yang sudah direncanakan. Meskipun dana jaminan ini bersifat sementara dan dapat dikembalikan setelah pelancong meninggalkan AS tepat waktu, keharusan untuk menyediakan dana sebesar itu di muka jelas menjadi beban finansial yang berat bagi banyak orang.
Kebijakan ini merupakan bagian dari tren pengetatan aturan visa yang semakin ketat, yang telah digulirkan oleh pemerintah AS. Dalam beberapa waktu terakhir, Departemen Luar Negeri juga mengumumkan bahwa untuk perpanjangan visa, pemohon wajib melalui proses wawancara tatap muka tambahan. Ini adalah langkah yang menunjukkan keseriusan pemerintah AS dalam menekan angka imigrasi ilegal dan pelanggaran visa.
Kekhawatiran Masyarakat
Kekhawatiran akan penerapan kebijakan ini sangat terasa di masyarakat, terutama bagi mereka yang bergantung pada perjalanan ke AS untuk bisnis atau liburan. Tentu saja, hal ini menambah tantangan baru di tengah berbagai peraturan yang terus berubah. Pengetatan yang terjadi ini membuat banyak calon pelancong harus berpikir ulang sebelum mengajukan permohonan visa.
Kebijakan ini patut diikuti perkembangannya, mengingat dampak yang dapat ditimbulkan, baik bagi ekonomi yang bergantung pada pariwisata maupun individu yang perlu melakukan perjalanan ke luar negeri. WNI yang merencanakan perjalanan ke AS diharapkan tetap waspada dan mengikuti berita terbaru, terutama terkait dengan daftar negara yang ditargetkan dan mekanisme pelaksanaan program jaminan visa ini.
Dengan langkahlangkah yang diambil pemerintah AS, perjalanan menuju AS sepertinya akan semakin kompleks. Oleh karena itu, masyarakat diharapkan tetap proaktif dalam mencari informasi dan memahami batasanbatasan yang ada.





